Dear RI, Waspada Dampak Negatif “Buang Dolar”
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral di berbagai negara dalam beberapa tahun terakhir menerapkan perjanjian bilateral Local Currency Settlement (LCS). Dengan LCS ini maka kedua negara yang bekerja sama bisa mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS), sehingga kedua mitra dagang tidak perlu menukar dolar AS terlebih dahulu jika ingin melakukan transaksi perdagangan dan investasi.
Bank Indonesia (BI) juga banyak menjalin kerja sama LCS. Terbaru BI sepakat dengan Bank Negara Malaysia (BNM) dan secara resmi menyepakati penguatan kerangka penyelesaian transaksi menggunakan Rupiah-Ringgit.
BI dalam siaran resminya menjelaskan LCS antara Indonesia dan Malaysia sudah diimplementasikan sejak 2 Januari 2018.
“Penguatan kerangka LCS dalam Rupiah-Ringgit mulai berlaku efektif sejak 2 Agustus 2021,” jelas BI dalam siaran resminya, Senin (2/8/2021) lalu.
Selain dengan Malaysia, Indonesia juga telah menjalin kerja sama LCS dengan negara lain seperti Jepang, Thailand, dan China.
Selama ini di Indonesia, transaksi tersebut memang menggunakan dolar Amerika Serikat (AS). Sehingga menimbulkan risiko ketidakpastian yang cukup tinggi.
Seperti dalam beberapa tahun terakhir, ketika Indonesia ingin menggenjot perekonomian, maka lonjakan impor tidak terhindarkan. Di waktu yang sama Indonesia juga membutuhkan pasokan dolar AS untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang.
Bila ditambah dengan sentimen negatif dari global atau dalam negeri, nilai tukar rupiah sulit untuk dikendalikan alias pelemahan. Meskipun BI tetap berupaya keras mengkondisikan rupiah stabil sesuai fundamentalnya.
Sementara itu, kebijakan tersebut yang juga banyak dilakukan bank sentral di negara-negara lain sukses membuat porsi dolar AS di cadangan devisa (cadev) global terus menurun, bahkan hingga ke level terendah dalam 25 tahun terakhir di kuartal IV-2020 lalu.
Berdasarkan rilis dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), banyak analis mengatakan penurunan porsi dolar AS pada cadangan devisa global sebagian akibat berkurangnya peran mata uang Paman Sam ini di perekonomian global.
Artinya kerja sama LCS atau jenis kerja sama lainnya yang menggunakan mata uang lokal secara bilateral benar-benar membuat peran dolar AS berkurang. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri, porsi dolar AS masih jauh lebih besar ketimbang mata uang lainnya.
Data IMF menunjukkan di 3 bulan terakhir 2020, nilai dolar AS di cadev global sebesar US$ 6,996 triliun atau 58,94% dari total cadev global, yang merupakan persentase terendah dalam sejak 1995.
Sementara itu, di kuartal I-2021 nilai dolar AS dalam cadangan devisa global mengalami penurunan menjadi US$ 6,991 triliun tetapi secara persentase mengalami peningkatan menjadi 59,54%.
Euro, mata uang dengan porsi terbanyak kedua di cadev global persentasenya hanya 20,57% di kuartal I-2021, mengalami penurunan dari kuartal sebelumnya 21,29%.
Namun, Usaha mengguncang dolar ini pasti menimbulkan ketidakpastian baru dalam ekonomi global. Dalam jangka panjang keseimbangan yang timbul dalam penggunaan mata uang antarnegara akan menciptakan sistem ekonomi moneter yang bebas guncangan. Namun hal ini tentu tidak berlaku dalam jangka menengah.
Dalam jangka menengah, keseimbangan yang timbul oleh akibat keragaman mata uang yang digunakan justru akan mengakibatkan ketidakpastian ekonomi menjadi pasti.
Dan, beberapa ekonom beranggapan bahwa kontraksi ekonomi cenderung ke arah resesi yang terjadi saat ini salah satunya karena mulai berkurangnya dominasi dolar AS dalam transaksi global, sehingga kepastian ekonomi justru membawa dampak yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Apalagi, hal ini akan membuat AS menjadi pihak yang dirugikan. Dan pastinya, AS tidak akan tinggal diam dalam menyikapi hal ini.
Kasihan… Dolar AS Mulai ‘di-Ghosting’ Indonesia
Indonesia dan beberapa negara sudah bekerja sama untuk menggunakan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi. Namanya Local Currency Settlement (LCS) jadi transaksi penyelesaian antar negara menggunakan mata uang lokal masing-masing negara.
Tujuannya, agar ketergantungan terhadap dolar AS bisa berkurang. Pasalnya, ketika bertransaksi untuk perdagangan luar negeri mata uang lokal harus dikonversi dulu ke dolar AS baru kemudian diubah ke mata uang negara tujuan.
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan (DPPK) Bank Indonesia (BI) Donny Hutabarat mengungkapkan LCS ini bisa untuk penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi langsung internasional.
Selain itu biaya transaksi valas juga lebih efisien dengan direct quotation. Lalu ada juga diversifikasi eksposur mata uang non dolar AS bagi pelaku pasar dan pengembangan pendalaman pasar keuangan.
“Dengan adanya penguatan kerangka transaksi mata uang lokal ini sejak 2021 maka kegiatan remitansi seperti pendapatan pekerja migran Indonesia dan tenaga kerja asing, biaya sekolah dan biaya hidup bisa dilakukan melalui bank ACCD,” kata dia dalam Taklimat Media.
Karena itu transaksi ini akan memudahkan dan membuat biaya transaksi remitansi jadi lebih murah. Karena tak perlu ada proses konversi pengiriman uang ke dolar AS kemudian ke mata uang negara tujuan. “Remitansi ini tentunya akan lebih murah, kan dia tidak perlu dikonversi jadi untung di spread, jadi kalau mau Malaysia Ringgit bisa langsung ke MYR di Indonesia,” ujarnya.
Tapi dalam penerapannya masih ada kendala yang dihadapi. Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi mengungkapkan misalnya dengan Malaysia sebelum adanya kerja sama LCS ini transaksi hanya sebatas perdagangan. Kemudian BI dan otoritas Malaysia memperluas transaksi.
“Dari semula hanya perdagangan menjadi termasuk juga FDI (Foreign Direct Investment) dan pembayaran income transfer juga termasuk ke dalam remitansi tenaga kerja TKI kita,” kata dia dalam Taklimat Media, Jumat (6/8/2021).
RI-Malaysia hingga Jepang Kompak Tinggalkan Dolar AS, Ini Manfaatnya Pakai Uang Lokal : Okezone Economy
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) memperkuat kerja sama mata uang lokal (LCS) Indonesia dengan Malaysia dan Indonesia dan Jepang.
Kepala Departemen Internasional Bank Indonesia Doddy Zulverdi mengatakan, penguatan dimaksud merupakan sebuah upaya untuk memperkuat pasar valas Indonesia.
“Ini merupakan upaya bersama baik Indonesia dengan berbagai pihak untuk bagaimana kita memperkuat pasar valas kita bisa lebih berimbang,” ujar Doddy dalam diskusi virtual, Jakarta, Jumat (6/8/2021).
Baca Juga: Kini RI-Jepang Sepakat Pakai Mata Uang Lokal
Penguatan kerangka kerja sama yang berlaku efektif 5 Agustus 2021 ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk mendorong perdagangan dan investasi.
Selain itu juga turut memperkuat stabilitas makroekonomi dengan mendorong penggunaan mata uang lokal yang lebih luas untuk penyelesaian perdagangan dan investasi langsung antara Indonesia dan Jepang.
“Kita tahu perdagangan Indonesia dengan berbagai mitra itu baik di kawasan Asia maupun luar Asia masif, didominasi oleh penggunaan mata uang dolar Amerika, bahkan kalau kita melihat data terkini sudah beberapa tahun ini 90% perdagangan Indonesia dengan negara-negara luar itu menggunakan mata uang dolar AS,” kata Doddy.
Dirinya menyebut, karena banyaknya menggunakan mata uang dolar AS dalam penyelesaian transaksi, barang dagang, baik jasa maupun investasi, dapat menimbulkan ketergantungan pada pasar valas domestik. “Kalau pasar valas yang sehat, itu artinya ada pasar valas Rupiah dengan YEN, rupiah dengan euro, rupiah dengan ringgit, intinya Rupiah dengan mata uang negara-negara mitra dagang dan investasi kita,” kata Doddy Namun karena masih menggunakan dolar AS, meski berdagang dengan China, Jepang, Thailand dan lain-lain, Indonesia harus tetap menggunakan dolar AS. Hal ini membuat mata uang Rupiah menjadi sangat sensitif terhadap apa yang terjadi dengan dolar AS. “Karenanya Bank Indonesia berinisiatif untuk terus mencoba menjaga stabilitasnya dengan melakukan pendekatan yang sifatnya lebih struktural, yaitu dengan mendalami pasar keuangan, terutama pasar keuangan valas non-dolar AS dalam negeri,” kata Doddy.